'ANAK HARAM'
Aku selalu di panggil anak haram. Jikala mereka memanggilku dengan sebutan itu, sungguh sangat menyakitkan.
Sejak aku lahir, sampai sekarang usiaku 18 tahun, aku tak pernah mengenal sosok seorang Ayah.
Aku teringat saat emak memberitahu tentang
Asal muasal aku lahir kedunia ini tanpa di dampingi seorang Ayah.
Dulu waktu acara kelulusan SMP, aku mendapat penghargaan sebagai murid teladan, emak
tidak menghadiri acara tersebut karna saat itu emak sedang sakit.
Saat aku turun dari panggung membawa sebuah piala. Ada sekelompok Ibu-ibu
mencibirku.
''Hehh Anak haram, mana ibumu? Pasti dia tidak bisa menghadiri acara ini karna malu.''
Ucap seorang ibu-ibu berbadan tambun.
''Wajar sih kalau dia punya malu, mana mungkin seorang pelacur mau berkeliaran siang-siang.'' Ibu-Ibu bertubuh pendek menimpali.
Suara mereka cukup keras, saat melontarkan kata-kata menyakitkan itu. Aku melihat orang- orang di sekitarku sedang memeprhatikanku. Ada yang menatap penuh benci, ada juga yang menatap iba. Kupingku terasa panas mendengar ocehan
ibu-ibu itu, tak kuasa menahan malu, aku pergi meninggalkan sekolah. Aku berlari sekuat tenaga meninggalkan acara tersebut. Air mataku tak bisa kubendung lagi, aku menangis sepanjang jalan menuju tempat tinggalku.Piala yang tadi aku genggam entah aku
jatuhkan dimana.
Sesamapainya dirumah aku langsung memeluk emak, menangis sejadi-jadinya di
pelukan emak.
''Kamu kenapa Ri.... Apa kamu tidak lulus?'' Emak mengusap-ngusap punggungku.
''Emak, sebenernya siapa Ayah kandung Ari ? Kenapa mereka menyebut emak pelacur, Apa itu pekerjaan emak dulu?'' Aku bertanya sambil terus terisak.
Emak melepaskan pelukanku dan mulai becerita:
''Dulu saat emak berusia 18 tahun, Emak mempunyai sebuah mimpi. Emak ingin merenopasi rumah nenek dan kakekmu, karna waktu itu...rumah yang kami tempati
tidak jauh berbeda dengan yang sekarang kita huni.''
Emak nampak menerawang, tatapan matanya kosong.
''Bertahu-tahun Wa Umar pergi merantau, bahkan kami mengira Wa Umar sudah tidak
ada lagi di dunia ini. Dari situ emak memutuskan untuk pergi ke
Negri orang untuk memenuhi mimpi-mimpi emak. Karna hanya emak yang menjadi tumpuan kakek dan nenekmu. Emak diajak salah satu teman emak yang
sudah beberapa kali mengadu nasib diluar negri. Dan teman emak itu berhasil. Pulangnya
dia dapat memebeli sawah, ladang juga membangun sebuah rumah.''
Isakanku mereda, kini aku fokus mendengar cerita emak.
''Emakpun berangkat ke salah satu Negri di Timut Tengah, tentu atas izin kakek dan nenekmu.
Tapi nasib Emak berbeda Ri....majikan emak
disana galak, bahkan kehormatan emak juga direnggut olehnya.''
Butiran air mata emak terjatuh, aku hanya terdiam mencerna cerita emak.
''Setelah kejadian buruk menimpa emak, Emak di sana sering sakit-sakitan. Suatu hari majikan
emak, membawa emak kedokter, setelah diperiksa tenyata emak sedang mengandung.''
Aku sudah mulai memahami isi cerita emak.
''Setelah majikan emak tau, emak hamil. Majikan emak, langsung memulangkan emak
ke Indonesia. Emak waktu tidak bisa apa-apa, emak hanya pasrah menyerahkan semua ini
kepada Sang Maha Kuasa. Emak pun kembali ke Indonesia, emak
menceritakan semuanya kepada kakek dan nenekmu. Waktu itu Wa Umar juga sudah berada
dirumah. Mendengar pengakuan emak, wa Umar geram. Wa Umar mengusir Emak dari rumah.
Tapi kakekmu berbaik hati, Emak di buatkan tempat tinggal disini tempat yang sekarang
kita huni.''
Sekarang aku tau kenapa selama ini aku tidak punya Ayah. Dan emakku juga bukan seorang pelacur. Aku memeluk tubuh emak. Berterima kasih karna
telah membesarkan dan merawatku.
Lamunanku seketika buyar saat mendengar suara emak terbatuk-batuk. Aku langsung menyeka air
mata, segera menghampiri emak di kamarnya.
Emak terbaring di ranjang memegangi dadanya, batuknya tak henti-henti. Deru nafasnya terengal-engal terlihat sangat berat. Mungkin penyakit asmanya kambuh lagi.
Aku segara mengambil segelas air putih dan mencari obat ditempat biasa emak menyimpan.
''Ri....Obatnya sudah habis, tadi sore obat terakhir yang emak minum.''
Aku hanya mengehela nafas, kasihan melihat penderitaan emak.
''Kalau gitu, Ari keluar dulu ya mak. Nyari obat ke warung.''
''Ini sudah malam Ri...Emak gak apa-apa, sebentar lagi batuk emak bakalan reda.'' Tolak emak suaranya terdengar parau.
Emak meyakinkan dirinya, kalau emak tidak apa-apa, tapi aku tak tega melihat keaadaan
emak saat ini, aku harus segera mendapatkan obat.Tidakku hiraukan perkataan emak,
aku langsung bergegas mengambil uang di kamarku.
Jarak antara rumahku dan perkampungan memang agak sedikit jauh, karna rumah yang
kami tempati dulunya bekas kebun milik almarhum kakek.
Aku mengambil lampu senter untuk membantu penerangan jalan, saat aku keluar rumah tiba-tiba lampu mati.
''Ri...kamu masih di luar.'' Teriak emak dari dalam.
''Iya maaak....''
Aku masuk kembali ke dalam rumah, mencari-cari lilin dengan bantuan cahaya lampu senter.
Setelah aku menemukan lili.n aku langsung menyalakannya. Lalu membawa lilin itu ke
kamar emak.
Aku meletakan lilin itu di samping tempat tidur emak, Nafas emak terlihat masih belum stabil,
aku hendak beranjak dari kamar emak.
''Kamu mau kemana Ri..?''
''Ari mau cari obat mak.''
''Gak usah Ri...Emak sudah tidak apa-apa.'' Emak kekeh menolak untuk di belikan obat.
''Maaak, Ari keluar sebentar. Ari akan langsung pulang kalau sudah mendapatkan
obat itu.'' Aku meyakinkan emak.
''Jangan Ri...perasaan Emak tidak enak, lebih baik kamu jangan keluar, ini sudah malam.''
''Maak, Ari ini sudah besar, Emak jangan terlalu khawatir. Lagian Ari cuma beli obat ke
warung, gak akan lama.....'' Aku meyakinkan emak.
Sebelum peranjak pergi, kucium kening emak. Saat aku keluar rumah, aku melihat ke arah
kampung yang akan aku tuju terlihat kerlap- kerlip cahaya lampu. Sepertinya ini bukan
mati lampu, aku menduga, mungkin kabel yang tersambung ke rumah putus di tengah jalan.
Kalau aku melewati jalan besar (jalan yang bisa di lalui mobil) pasti akan lama, aku
putuskan melewati jalan pintas sembari memeriksa kabel.
Aku langkahkan kakiku dengan melapadzkan kalimat Bismillah.
Lampu senter yang aku bawa, sesekali aku arahkan ke arah kabel listrik yang menggantung di sela-sela pohon. Aku belum
menemukan tanda-tanda kalau kabel itu putus.
Kerossakkkk.....Blag...blig...
Aku mendengar suara deru langkah orang, tapi segera aku tepis, rasanya tidak mungkin
ada orang malam-malam berkeliaran di kebun, kalaupun itu orang pasti mereka akan
menyapaku.
Aku masih berjalan tenang, saat akan keluar dari area kebun menuju jembatan kecil
penghubung antara kebun dan sawah. Aku melihat kabel listrik menjuntai ke bawah.
Dengan sangat hati-hati, aku memeriksa kabel listrik tersebut. Aku teliti potongan kabel
tersebut. Potongan Kabel itu terlihat rapih, seperti diputus menggunakan gunting. Kalau putus terkena runtuhan dahan pohon, pasti akan ada dahanan pohon tergeletak di dekat kabel itu.
Aku masih berjongkok mengira-ngira sebab kabel listrik ini terputus.
Bugggg.....Buggg
Dua kali pukulan mengenai punggungku, senter yang aku bawa terlepas jatuh ke
selokan. Pandanganku gelap, tapi aku merasa ada orang di sekitarku, cahaya lampu senter
langsung tertuju ke arah wajahku. Aku mengeryitkan mata, karna silau dengan cahaya senter tersebut.
Bukkkk...
Satu pukulan mendarat di pipi kananku, kepalaku terasa pusing, tubuhku lemas, pandanganku kembali gelap..
''Ri....Obatnya sudah habis, tadi sore obat terakhir yang emak minum.''
Aku hanya mengehela nafas, kasihan melihat penderitaan emak.
''Kalau gitu, Ari keluar dulu ya mak. Nyari obat ke warung.''
''Ini sudah malam Ri...Emak gak apa-apa, sebentar lagi batuk emak bakalan reda.'' Tolak emak suaranya terdengar parau.
Emak meyakinkan dirinya, kalau emak tidak apa-apa, tapi aku tak tega melihat keaadaan
emak saat ini, aku harus segera mendapatkan obat.Tidakku hiraukan perkataan emak,
aku langsung bergegas mengambil uang di kamarku.
Jarak antara rumahku dan perkampungan memang agak sedikit jauh, karna rumah yang
kami tempati dulunya bekas kebun milik almarhum kakek.
Aku mengambil lampu senter untuk membantu penerangan jalan, saat aku keluar rumah tiba-tiba lampu mati.
''Ri...kamu masih di luar.'' Teriak emak dari dalam.
''Iya maaak....''
Aku masuk kembali ke dalam rumah, mencari-cari lilin dengan bantuan cahaya lampu senter.
Setelah aku menemukan lili.n aku langsung menyalakannya. Lalu membawa lilin itu ke
kamar emak.
Aku meletakan lilin itu di samping tempat tidur emak, Nafas emak terlihat masih belum stabil,
aku hendak beranjak dari kamar emak.
''Kamu mau kemana Ri..?''
''Ari mau cari obat mak.''
''Gak usah Ri...Emak sudah tidak apa-apa.'' Emak kekeh menolak untuk di belikan obat.
''Maaak, Ari keluar sebentar. Ari akan langsung pulang kalau sudah mendapatkan
obat itu.'' Aku meyakinkan emak.
''Jangan Ri...perasaan Emak tidak enak, lebih baik kamu jangan keluar, ini sudah malam.''
''Maak, Ari ini sudah besar, Emak jangan terlalu khawatir. Lagian Ari cuma beli obat ke
warung, gak akan lama.....'' Aku meyakinkan emak.
Sebelum peranjak pergi, kucium kening emak. Saat aku keluar rumah, aku melihat ke arah
kampung yang akan aku tuju terlihat kerlap- kerlip cahaya lampu. Sepertinya ini bukan
mati lampu, aku menduga, mungkin kabel yang tersambung ke rumah putus di tengah jalan.
Kalau aku melewati jalan besar (jalan yang bisa di lalui mobil) pasti akan lama, aku
putuskan melewati jalan pintas sembari memeriksa kabel.
Aku langkahkan kakiku dengan melapadzkan kalimat Bismillah.
Lampu senter yang aku bawa, sesekali aku arahkan ke arah kabel listrik yang menggantung di sela-sela pohon. Aku belum
menemukan tanda-tanda kalau kabel itu putus.
Kerossakkkk.....Blag...blig...
Aku mendengar suara deru langkah orang, tapi segera aku tepis, rasanya tidak mungkin
ada orang malam-malam berkeliaran di kebun, kalaupun itu orang pasti mereka akan
menyapaku.
Aku masih berjalan tenang, saat akan keluar dari area kebun menuju jembatan kecil
penghubung antara kebun dan sawah. Aku melihat kabel listrik menjuntai ke bawah.
Dengan sangat hati-hati, aku memeriksa kabel listrik tersebut. Aku teliti potongan kabel
tersebut. Potongan Kabel itu terlihat rapih, seperti diputus menggunakan gunting. Kalau putus terkena runtuhan dahan pohon, pasti akan ada dahanan pohon tergeletak di dekat kabel itu.
Aku masih berjongkok mengira-ngira sebab kabel listrik ini terputus.
Bugggg.....Buggg
Dua kali pukulan mengenai punggungku, senter yang aku bawa terlepas jatuh ke
selokan. Pandanganku gelap, tapi aku merasa ada orang di sekitarku, cahaya lampu senter
langsung tertuju ke arah wajahku. Aku mengeryitkan mata, karna silau dengan cahaya senter tersebut.
Bukkkk...
Satu pukulan mendarat di pipi kananku, kepalaku terasa pusing, tubuhku lemas, pandanganku kembali gelap..
To Be Continue...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar