Minggu, 09 Februari 2014

"FACHRY" Part III

Sepanjang perjalanan pulang, aku masih kefikirkan apa yang lakukan kepada Nissa.

Nissa itu adik kelasku saat aku duduk dibangku SMP.
Nissa cantik, berkepribadian baik, bahkan dia begitu perhatian terhadapku, tapi aku selalu
menjaga jarak darinya.
Ada beberapa alasan kenapa aku tidak bisa membalas perhatiannya. Diantaranya orang
tua Nissa, beliau tidak pernah suka melihat anak gadisnya dekat-dekat denganku, bahkan
mamanya sering mengeluarkan kata-kata kasar jika sesekali beliau memanggilku.

'ANAK HARAM'

Itulah sebutan yang melekat pada diriku, orang-orang yang tidak suka denganku selalu
memanggilku dengan sebutan itu.
Dulu...saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, jika ada yang mengolok- ngolok atau menyebutku dengan sebutan
anak haram, aku selalu mengadu pada Emak. Bahkan aku sering menanyakan, kenapa hanya aku
yang di panggil anak haram, sedangkan anak- anak yang lainnya tidak.
Emak selalu menjawab: 'Di dunia ini tidak ada yang namanya anak haram. Setiap bayi yang
lahir kedunia ini semuanya Suci'.

Aku percaya dengan apa yang di katakan emakku, aku yakin bahwa aku ini bukan anak haram.
Sejak emak berkata demikian, aku selalu mengabaikan ocehan mereka, aku lebih
percaya dengan omongan Emak, dari pada ocehan-ocehan orang-orang di luar sana.


Sesampainya dirumah, indera pencimanku disambut dengan bau harum bakar terasi yang membuat perutku agak sedikit melilit.

Aku mengambil handuk segera menuju kebelakang. Emak sedang sibuk meniup-niup bara api, membolak-balik terasi yang sedang di bakarnya.

''Assalamu'laikum''

''Wa'alaikum salam''

Aku langsung mencium punggung telapak tangan Emak.

''Tumben Ri...pulangnya sore amat?.''

''Iya mak, tadi ada yang ngajakin Ari ngobrol dijalan.'' Sengaja aku tidak memperjelas kejadian yang hampir saja membuatku kecelakaan.

''Mak aku laper.....''
Aku mengusap-ngusap perutku yang mulai terasa melilit.

''Kamu sudah solat ashar belum?''

''Belum mak.''

''Emak tadi menggoreng pisang, untuk ganjal perut kamu makan itu aja dulu. Entar habis
solat Ashar, baru makan nasi.''

Aku mencomot satu potong goreng pisang yang emak letakan di atas meja. Aku segera
bergegas menuju tempat mandi. Jarumjam sudah menunjukan pukul 5 lebih 15 menit.

Bak mandi ternyata sudah penuh terisi air, emak sudah menimba air menyediakan untuk aku mandi.

***

Setelah selsai mandi, aku lagsung masuk kamar untuk melaksanakan kewajibanku sebagi umat muslim.
Karna sebentar lagi mau masuk waktu magrib, aku putuskan untuk tidak beranjak
dari atas sajadah. Aku lapadzkan lidahku melantunkan wirid, dzikir dan do'a kepada Sang khaliq.

Sayup-sayup terdengar suara Adzan magrib berkumandang di corong speker mesjid. Aku langsung melaksanakan solat magrib.

Selsai solat, aku memutuskan untuk mengisi perut. Aku membuka tudung saji penutup
lauk pauk. Sambal terasi, lalab daun singkong, ikan asin, menu makanan yang emak sediakan.
Aku langsung melahapnya, karna perutku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.

Emak keluar dari kamar membawa sebuah kotak, aku mengenali kotak yang di bawa
emak.

''Ri....Tadi emak ketitipan ini.''

Emak menyerahkan kotak itu.
Ya..itu kotak yang dibawa Nissa tadi.

''Ini dari Nissa ya...Mak?'' Aku meyakinkan lagi.

''Iya Ri, ko kamu tau? Tadi Nissa kesini, dia sampai terjatuh dari motornya waktu mau
melintas jembatan kecil, untungnya ada orang yang menolongnya.''

Aku cukup terharu mendengar perjuangan Nissa, tapi rasa sakit hati atas penginaan
orang tuanya membuatku hilang kendali.

''Kenapa emak menerimanya. Apa emak gak ingat, dulu emak di maki-maki oleh orang
tuanya Nissa, hanya karna aku menerima hadiah dari dia. Kenapa emak sekarang menerimanya lagi.''

Tanpa sadar, aku sudah berbicara keras pada emak, emak tertunduk. Aku langsung memeluk emak.

''Ma'afkan Ari Mak, Ari tidak bermaksud membentak Emak.''

Emak membalas pelukanku, Emak terisak di punggungku.

''Semua ini salah Emak Ri... Andai Emak dulu bisa menjaga kehormatan emak. Pasti kamu
tidak akan seperti ini. Kamu selalu jadi bahan ocehan orang, bahkan mereka selalu menganggap kamu hina, hanya karna kamu
lahir tanpa seorang Ayah.''

''Sudahlah Mak, aku sudah kebal dengan ocehan mereka, aku sudah bisa menerima
apa yang telah Allah takdirkan kepadaku, emak jangan ungkit-ungkit lagi, itu hanya
membuat hati Ari sakit.''

Emak melepaskan pelukannya.

''Maafkan emak, ya Ri....''

Aku tersenyum, senyum yang dipaksakan, agar emak tenang dan tidak lagi menyesali
masa lalunya..



To Be Continue....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar