Plok...
Lemparan tanah liat menempel di pipi kananku. Aku menoleh ke arah lemparan itu.
Seseorang berkecak pinggang menatapku geram.
''Heh anak haram, lu kalau kerja yang bener. Kalau lu punya masalah, jangan bawa-bawa
masalah lu ke sini. Gue bisa rugi
memperkejakan lu di sini. Lihat hasil kerja lu.'' Hardik seseorang.
Memang aku akui, saat ini aku sedang ada masalah, fikiranku tidak fokus ke pekerjaan.
Ternyata benar, hasil kerjaanku berantakan.
Tanah liat yang harusnya di cetak padat, ini tidak sesuai dengan cetakan, masih banyak
bolong-bolong di bagian atasnya.
Namaku FACHRY ASSIDQY. Saat ini aku bekerja di pabrik batu-bata milik uwa (kakaknya ibu).
Semenjak lulus SMP, aku bekerja di pabrik ini. Meski dulu uwa tidak mengizinkanku bekerja
di sini, tapi aku memohon kepada beliau, supaya aku di pekerjakan di pabrik miliknya.
Akhirnya permohonanku di kabulkan, aku di
terima kerja di tempat beliau. Meskipun sikap Uwa tidak pernah ramah terhadapku. Aku
tetap hormat sama beliau, karna beliau adalah kakak kandung emakku.
Kurang lebih tiga tahun aku menggeluti pekerjaan ini. Sejak aku lulus SMP emak sudah
tidak bisa bekerja seperti dulu. Emak sering sakit-sakitan, jadi aku yang harus banting
tulang mencari nafkah. Karna kami hanya hidup berdua, di sebuah rumah yang terbuat
dari bilik bambu beralaskan tanah.
Orang-orang menyebutnya gubug derita. Tapi
bagi aku ini adalah sebuah istana megah, karna di dalamnya ada seorang permaisuri
cantik yang rela banting tulang, rela mengorbankan tenaga bahkan nyawanya
demi membesarkanku. Dia adalah Emakku.
*****
Aku melihat jam dinding waktu menunjukan
pukul 4 sore. Aku segera membereskan perlengkapan kerjaku. Seperti cangkul, Ember,
selang air, dan cetakan batu-bata. Aku kembalikan ketempat semula, supaya besok tidak kelimpungan mencari alat-alat itu.
Aku langsung bergegas ke rumah uwa yang berada di samping pabrik untuk meminta
upah, tenagaku di bayar harian.
Hari ini di rumah uwa akan mengadakan acara makan-makan untuk menyambut adik
iparnya uwa yang datang dari Bandung.
Bau harum makanan langsung menyeruak indra penciumanku, membuat perutku melilit
menahan lapar.
Aku masuk kedalam rumah, nampak makanan
tersaji di atas tikar, Uwa duduk lesehan bersama kedua kedua anak kembarnya.
Istrinya sibuk bolak-balik mengambil makanan dari arah dapur.
Aku agak sedikit ragu untuk meminta upah kerjaanku hari ini, tapi aku butuh uang itu.
''Uwa...aku mau pulang'' Ucapku sungkan, Uwa mendelik ke arahku, lalu mengambil
dompet dari saku celananya, mengambil 2 lembar uang pecahan 10.000, langsung
melemparkannya ke arahku.
''Sudah sana pergi, ganggu selera makan saja.'' Ucap uwaku sinis.
Aku mengambil uang yang tergeletak di lantai, lalu pergi.
Saat aku bejalan menuju rumah pikiranku kalut, memikirkan nasib emakku, 'kapan aku
bisa bawa emak ke dokter?'
Tidiiidddddtttttttttt
Suara kelakson motor membuyarkan lamunanku, aku tergelonjak kaget, baru aku
sadari ternyata aku berjalan di bagian tengah bahu jalan.
To Be Continue....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar